Selami kekayaan sejarah dan budaya Banda Aceh, sang “Serambi Mekkah”. Kunjungi situs bersejarah, pelajari kisah bangkit pasca-tsunami, dan rasakan atmosfer spiritual yang unik di ujung Sumatera.
Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh yang terletak di ujung paling barat Pulau Sumatra, bukanlah sekadar kota biasa. Mengunjungi Banda Aceh berarti melakukan perjalanan melintasi waktu, menyelami makna keimanan, dan menyaksikan kekuatan harapan manusia.
1. Jejak Sejarah yang Abadi: Gerbang Peradaban Islam di Banda Aceh
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Banda Aceh (dulu dikenal sebagai Kutaraja) adalah jantung dari salah satu kesultanan Islam paling berpengaruh di Asia Tenggara: Kesultanan Aceh Darussalam. Kota ini adalah pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, dan penyebaran Islam yang membuatnya dijuluki “Serambi Mekkah”.
- Pusat Kekuatan Maritim: Pada masa keemasannya di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Aceh menjadi kekuatan maritim yang disegani, menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan menjalin hubungan diplomatik hingga ke Kesultanan Utsmaniyah di Turki.
- Saksi Perjuangan: Sejarah Banda Aceh juga diwarnai dengan perjuangan heroik melawan kolonialisme. Perang Aceh melawan Belanda adalah salah satu perang terpanjang dan terberat yang pernah dihadapi penjajah. Kerkhof Peucut, sebuah kompleks pemakaman militer Belanda yang rapi, menjadi saksi bisu betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk menaklukkan tanah rencong ini.
- Peninggalan Bersejarah: Jejak-jejak kejayaan ini masih bisa ditelusuri hingga kini melalui:
- Museum Aceh: Rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh) yang menyimpan artefak-artefak peninggalan kesultanan dan sejarah Aceh.
- Taman Sari Gunongan: Sebuah bangunan unik berbentuk kelopak bunga yang konon dibangun Sultan Iskandar Muda sebagai tanda cintanya kepada permaisuri, Putri Pahang.
- Makam Sultan Iskandar Muda: Tempat peristirahatan terakhir sultan terbesar Aceh yang terletak tak jauh dari pusat kota.
2. Jantung Spiritualitas Nusantara: Nafas Kehidupan Islami
Spiritualitas bukan hanya bagian dari sejarah Banda Aceh; ia adalah nafas yang menghidupi setiap sudut kota. Penerapan Syariat Islam secara formal membentuk tatanan sosial yang unik, menciptakan suasana yang tenang, damai, dan religius.
- Masjid Raya Baiturrahman: Ikon utama Banda Aceh yang tak lekang oleh waktu. Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan simbol kebesaran, perjuangan, dan keajaiban. Dibakar oleh Belanda pada 1873 dan dibangun kembali sebagai tanda rekonsiliasi, masjid ini secara ajaib berdiri kokoh saat tsunami dahsyat menerjang pada 2004, menjadi tempat perlindungan bagi ribuan orang. Kemegahan arsitekturnya, dengan payung-payung raksasa yang menyerupai Masjid Nabawi, mengundang decak kagum siapa pun yang memandangnya.
- Kehidupan Sehari-hari: Suara azan yang menggema dari ratusan masjid menjadi penanda waktu. Cara berpakaian masyarakat yang sopan, interaksi sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, serta tradisi ngopi di warung-warung kopi yang menjadi ruang publik untuk berdiskusi, semuanya mencerminkan budaya Islami yang mengakar kuat.
- Warung Kopi sebagai Ruang Intelektual: Jangan salah, di balik suasana religiusnya, Banda Aceh punya budaya kopi yang luar biasa. Warung kopi (warkop) adalah “parlemen rakyat”, tempat segala isu, mulai dari politik hingga sosial, dibahas secara terbuka sambil menikmati secangkir Kopi Gayo yang legendaris.
3. Kisah Kebangkitan dari Puing Bencana: Harapan di Atas Gelombang
Pada 26 Desember 2004, Banda Aceh menjadi episentrum salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah modern. Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia meluluhlantakkan kota ini, merenggut ratusan ribu nyawa, dan meninggalkan luka yang mendalam. Namun, dari tragedi inilah lahir sebuah kisah kebangkitan yang luar biasa.
- Museum Tsunami Aceh: Dirancang oleh Ridwan Kamil, museum ini bukan hanya tempat untuk mengenang korban, tetapi juga sebuah monumen harapan.
- Situs-Situs Peringatan: Di seluruh penjuru kota, terdapat monumen-monumen hidup yang menjadi pengingat dahsyatnya bencana sekaligus bukti ketangguhan warganya:
- Kapal PLTD Apung: Kapal pembangkit listrik seberat 2.600 ton yang terseret gelombang sejauh 5 km ke tengah daratan.
- Kapal di Atas Rumah: Sebuah kapal nelayan yang “parkir” di atap sebuah rumah di Lampulo, menyelamatkan 59 orang yang berlindung di dalamnya.
- Simbol Perdamaian: Tsunami menjadi katalisator perdamaian. Bencana ini mendorong Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun. Perjanjian Damai Helsinki (MoU Helsinki) yang ditandatangani pada 2005 menjadi babak baru bagi Aceh yang damai dan membangun.
Kesimpulan
Banda Aceh adalah sebuah destinasi yang menawarkan lebih dari sekadar pemandangan. Ia adalah sebuah pelajaran tentang peradaban, keimanan, dan resiliensi. Mengunjungi kota ini adalah kesempatan untuk berjalan di atas tanah para sultan, merasakan kedamaian di halaman masjid yang agung, dan mendengar langsung kisah-kisah tentang bagaimana sebuah komunitas bangkit dari keterpurukan dengan semangat yang tak pernah padam.